Mengapa Anak Ayam Bunyi Myik


“Petok … petok…” (nggak cocok,
nggak cocok) kata seekor ayam
betina begitu mengetahui yang
dilahirkannya hanyalah benda-benda
putih berbentuk bulat. Dia
kebingungan, karena berharap anak-
anak lahir sama persis seperti
dirinya.
Seorang teman menyarankan
melakukan meditasi (mengerami)
selama 21 hari agar para telur
berubah menjadi anak ayam
sebagaimana layaknya.
.
Si ayam betina mengikuti saran
teman yang lebih berpengalaman
darinya. Selama itu pula dia kudu
menjalankan persyaratannya. Tak
pernah beranjak dari tempat, kecuali
saat jam makan tiba. Dia harus
menjaga telur-telurnya dari segala
ancaman mara bahaya. Apalagi kalau
sang majikan, Azis sedang kehabisan
lauk di kulkasnya.
Hari demi hari, ibu ayam tetap sabar
menanti. Tubuhnya yang mulai
menggembung berusaha tetap
menciptakan suhu yang hangat untuk
calon putra-putrinya. Sambil sesekali
berdo’a agar anak-anaknya kelak
menetas dengan normal, tak perlu
operasi sesar yang memakan banyak
biaya . Sepasang matanya yang
tetap kecil meskipun melotot,
mengawasi sekitar penuh waspada.
Hari kesepuluh … ibu ayam masih
berlagak kuat menahan godaan di
luaran. Para pejantan menatap dari
kejauhan berharap dia kembali
berkumpul, bercanda menghabiskan
bekatul bersama layaknya masa
muda.
Hari ke dua puluh… ibu ayam harap-
harap cemas, seolah tak sabar
menanti esok hari. Dia masih teguh
pada keputusan semula, sabar
menanti kehadiran putra-putrinya.
Detik-detik menetasnya telur-telur,
hati si ibu ayam dipenuhi suka cita.
Satu persatu cangkang retak. Kepala
dengan paruh mungil nan cantik itu
menyembul keluar.
“Myik … myik … myik….” ramai suara
anak ayam membuat sang ibu
bahagia. Seulas senyum pun
menyambut kehadiran mereka
(bagaimana dia tersenyum ya?).
Sekali lagi ibu ayam kebingungan.
Mengapa mereka tidak bunyi ’petok’?
kembali dia bertanya pada para
tetangga. Ternyata anak-anak minta
‘mimik’ susu (myik .. myik...). Ah,
mengapa juga mereka minta mimik
susu di saat-saat harga beras
semakin melambung tinggi.
Sedangkan dirinya ditakdirkan
sebagai petelur, bukan binatang
menyusui. Sang ayah tak pernah
memberi nafkah sepeser pun.
“Ah, sudahlah. Mereka tidak boleh
manja, dan harus bisa mandiri.”
gumamnya dalam hati.
Lebih baik mengajari mereka hidup
sederhana, mensyukuri segala yang
diberikan oleh sang majikan dengan
lapang dada.

Oleh Dian Hariani

Previous
Next Post »